Suasana Pertemuan di Perpustakaan SBY di Cikeas. (Frederika Korain/PGI) |
JAKARTA- Pemerintah berjanji akan menarik pasukan non-organik
dari provinsi Papua dan Papua Barat. Janji itu disampaikan langsung Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono saat bertemu dengan para pimpinan gereja-gereja di
Papua di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (16/12/2011)
malam.
Para tokoh agama yang hadir adalah Ketua Sinode GKI Papua Yemima Kret, Ketua Gereja Baptis Papua Socrates Sofyan Yoman, Ketua Sinode Kingmi Benny Giay, Martin Luther Wanma, dan Rika Korain.
Sementara Presiden SBY ditemani Wakil Presiden Boediono dan beberapa menteri, antara lain Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto.
Dalam konferensi pers di kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, siang tadi, para tokoh agama menyampaikan penghargaan atas niat pemerintah tersebut. Apalagi, di bulan Desember ini sebagian besar rakyat Papua sedang, dan akan merayakan hari raya Natal.
“Saya sampaikan kepada Presiden, bulan ini bulan damai, bulan kasih sayang, seharusnya masyarakat bisa tenang. Saya minta kekerasan berhenti, saatnya kita saling berangkulan,” kata Ketua Sinode Kingmi Benny Giay kepada media, Sabtu (17/12/2011).
Mendengar permintaan itu, kata Benny, Presiden langsung meminta kepada Kapolri dan Panglima TNI agar menghentikan kekerasan, “Presiden perintahkan ke Kapolri dan Pangab (Panglima TNI) hentikan kekerasan di Paniai, sekurang-kurangnya selama bulan natal,” imbuhnya.
Pendeta Gomar Gultom yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menjelaskan, Presiden memang tidak secara spesisifik menyebutkan tenggat waktu penarikan pasukan non-organik tersebut. Namun, hal ini tetap dianggap sebagai langkah penting guna memulai proses dialog antara Jakarta-Papua.
“Presiden memerintahkan semua pasukan non-organik ditarik dan hentikan pendekatan keamanan karena persiapan dialog tidak mungkin kalau ada pendekatan keamanan,” katanya.
Gultom merujuk pada serangan pasukan TNI/Polri ke Paniai 12-15 Desember 2011 yang menewaskan 15 orang. Dalam penjelasan resmi, Polri menyebut daerah yang mereka rebut dan duduki tersebut adalah markas TPN/OPM.
Menurut Gultom, dialog tidak mungkin terjadi jika pada saat bersamaan ada operasi keamanan di wilayah Papua.
Sampai saat ini, tidak diketahui persis jumlah pasukan non-organik yang ditempatkan di Papua. Lembaga Imparsial, Agustus lalu, seperti diberitakan VHR menyebut ada sekira 30 ribu pasukan di Papua. Dari jumlah tersebut, 14 ribu di antaranya adalah pasukan organik dibawah kendali Kodam Cendrawasih.
Lebih lanjut, Gultom mengatakan kedua belah pihak belum menentukan format dialog, maupun materi-materi yang akan dibahas karena pertemuan tadi malam baru pembukaan guna menyamakan persepsi. Selanjutnya, para tokoh agama dijadwalkan untuk bertemu lagi pada pertengahan bulan Januari tahun depan guna merumuskan persoalan secara lebih mendetail.
Namun, secara umum, Presiden sudah menyampaikan garis besar posisi pemerintah dalam dialog itu dalam lima kerangka yakni, kedaulatan RI, otonomi khusus, percepatan dan perluasan pembangunan, tindakah khusus sementara (affirmative action), dan penegakan hukum terhadap semua pihak yang melanggar hukum.
“Affirmative action itu maksudnya karena selama ini ada ketidakadilan terhadap masyarakat Papua. Jadi nanti diberikan kesempatan kepada mereka, misalnya, duduk di pemerintahan dan sebagainya,” katanya.
Gultom menambahkan ,hal lain yang juga disampaikan Presiden dalam pertemuan itu adalah mengenai peran Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono. Para tokoh agama memandang, UP4B dibentuk secara sepihak karena tidak mendengar aspirasi rakyat Papua. “Ada titik temu dalam peremuan tadi malam. Semua akan dievaluasi bersama, UP4B dihentikan sampai ada hasil evaluasi bersama,” katanya.
Para tokoh agama sebenarnya menginginkan agar dialog difasilitasi pihak ketiga. Selain itu, mereka meminta pemerintah membebaskan seluruh tahanan politik, dan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol bernuansa separatis di Aceh, Maluku dan Papua. Perpres ini menjadi landasan pemerintah melarang pengibaran benderan Bintang Fajar, yang pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid bisa dikibarkan rakyat Papua. (abe)
Para tokoh agama yang hadir adalah Ketua Sinode GKI Papua Yemima Kret, Ketua Gereja Baptis Papua Socrates Sofyan Yoman, Ketua Sinode Kingmi Benny Giay, Martin Luther Wanma, dan Rika Korain.
Sementara Presiden SBY ditemani Wakil Presiden Boediono dan beberapa menteri, antara lain Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto.
Dalam konferensi pers di kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, siang tadi, para tokoh agama menyampaikan penghargaan atas niat pemerintah tersebut. Apalagi, di bulan Desember ini sebagian besar rakyat Papua sedang, dan akan merayakan hari raya Natal.
“Saya sampaikan kepada Presiden, bulan ini bulan damai, bulan kasih sayang, seharusnya masyarakat bisa tenang. Saya minta kekerasan berhenti, saatnya kita saling berangkulan,” kata Ketua Sinode Kingmi Benny Giay kepada media, Sabtu (17/12/2011).
Mendengar permintaan itu, kata Benny, Presiden langsung meminta kepada Kapolri dan Panglima TNI agar menghentikan kekerasan, “Presiden perintahkan ke Kapolri dan Pangab (Panglima TNI) hentikan kekerasan di Paniai, sekurang-kurangnya selama bulan natal,” imbuhnya.
Pendeta Gomar Gultom yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menjelaskan, Presiden memang tidak secara spesisifik menyebutkan tenggat waktu penarikan pasukan non-organik tersebut. Namun, hal ini tetap dianggap sebagai langkah penting guna memulai proses dialog antara Jakarta-Papua.
“Presiden memerintahkan semua pasukan non-organik ditarik dan hentikan pendekatan keamanan karena persiapan dialog tidak mungkin kalau ada pendekatan keamanan,” katanya.
Gultom merujuk pada serangan pasukan TNI/Polri ke Paniai 12-15 Desember 2011 yang menewaskan 15 orang. Dalam penjelasan resmi, Polri menyebut daerah yang mereka rebut dan duduki tersebut adalah markas TPN/OPM.
Menurut Gultom, dialog tidak mungkin terjadi jika pada saat bersamaan ada operasi keamanan di wilayah Papua.
Sampai saat ini, tidak diketahui persis jumlah pasukan non-organik yang ditempatkan di Papua. Lembaga Imparsial, Agustus lalu, seperti diberitakan VHR menyebut ada sekira 30 ribu pasukan di Papua. Dari jumlah tersebut, 14 ribu di antaranya adalah pasukan organik dibawah kendali Kodam Cendrawasih.
Lebih lanjut, Gultom mengatakan kedua belah pihak belum menentukan format dialog, maupun materi-materi yang akan dibahas karena pertemuan tadi malam baru pembukaan guna menyamakan persepsi. Selanjutnya, para tokoh agama dijadwalkan untuk bertemu lagi pada pertengahan bulan Januari tahun depan guna merumuskan persoalan secara lebih mendetail.
Namun, secara umum, Presiden sudah menyampaikan garis besar posisi pemerintah dalam dialog itu dalam lima kerangka yakni, kedaulatan RI, otonomi khusus, percepatan dan perluasan pembangunan, tindakah khusus sementara (affirmative action), dan penegakan hukum terhadap semua pihak yang melanggar hukum.
“Affirmative action itu maksudnya karena selama ini ada ketidakadilan terhadap masyarakat Papua. Jadi nanti diberikan kesempatan kepada mereka, misalnya, duduk di pemerintahan dan sebagainya,” katanya.
Gultom menambahkan ,hal lain yang juga disampaikan Presiden dalam pertemuan itu adalah mengenai peran Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono. Para tokoh agama memandang, UP4B dibentuk secara sepihak karena tidak mendengar aspirasi rakyat Papua. “Ada titik temu dalam peremuan tadi malam. Semua akan dievaluasi bersama, UP4B dihentikan sampai ada hasil evaluasi bersama,” katanya.
Para tokoh agama sebenarnya menginginkan agar dialog difasilitasi pihak ketiga. Selain itu, mereka meminta pemerintah membebaskan seluruh tahanan politik, dan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol bernuansa separatis di Aceh, Maluku dan Papua. Perpres ini menjadi landasan pemerintah melarang pengibaran benderan Bintang Fajar, yang pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid bisa dikibarkan rakyat Papua. (abe)
Sumber: news.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar