EDUDANEWS-- (Sinar.Papua)- Akar
Masalah Integrasi Papua tahun 1962, rekayasa kepentingan Amerika dan
Indonesia tanpa mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara).
PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, masuk tahun 1967, sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979. Selama 45 tahun integrasi tidak membawa kemajuan bangsa Papua.
PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, masuk tahun 1967, sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979. Selama 45 tahun integrasi tidak membawa kemajuan bangsa Papua.
Dewasa
ini, ada gejala proses genosida (punahisasi) etnis Papua secara
terselubung (HIV/AIDS, terjadi melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll)
maupun konfrontasi antara rakyat dengan pihak militer Indonesia.
(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).
(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).
Sebab
proses integrasi penuh rekayasa dan manipulasi antara Indonesia dan
Amerika (baca: John F Kennedy dan Soekarno). Diawali dialog pertemuan
100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal (kini ketua PDP) dengan
Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres
Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres ini
diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan
orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara.
Kongres
meminta perhatian atas empat kenyataan de facto: 1. bahwa pada tahun
1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan; 2. bahwa Bangsa Papua
tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;
3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum
dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan; 4. bahwa ada
sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah
ditangani secara hukum. Memang ada sesuatu benar dari Gus-Dur, hal-hal
simbolik bukan essensi bernilai cultural Papua harus dihargai karena
keunikannya, tetap dibiarkan oleh negara, simbol-simbol cultural yang di
zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memakainya, sekarang dianggap
haram dan subversip.
UU
karet tentang terorisme siap membungkam dengan alasan terorisme, kapan
saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan halal memukul anak-anak
mahasiswa Papua sampai mati di penjara. UU pasal karet terorisme,
menjadikan halal, membunuh, menangkap dan menyiksa, siapa saja orang
Papua. Di Papua selalu saja ada darah, air mata, tanpa pernah kita tahu
kapan berakhir. B. Otsus Bukan Solusi Otsus Papua dituangkan dalam UU No
21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR,
dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus
Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di
universitas. Apalagi TPN/OPM di rimba raya Papua, bagi mereka Otsus
Papua sama sekali bukan solusi. Jargon TPN/OPM jelas, bagi mereka, Papua
Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Sejak
Otsus diterima Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, maka banyak
orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa
diredam.
Tapi
orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat
kemanusiaan manusia, dan itu hanya bisa diketahui Gus-Dur yang tidak di
pahami oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, malah lebih tidak
dimengerti aparat militer Indonesia di Papua. Dana trilyunan yang
dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat
Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul
kembali. Semua usaha pemerintah seakan tidak mempan untuk meredam
keinginan aspirasi “M” (merdeka) Papua. Terbukti dengan limpahan sekian
banyak dana trilyunan belum mampu meredam aksi separatisme Papua.
Alasannya dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah
pusat untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dapat
diharapkan meredam anasir separatisme. Memang dana trilyunan wajar
mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi bagi negara, misalnya hanya
menyebut satu, PT Freeport. Kenyataannya sekarang memang benar diera
Otsus Papua banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan
rakyat Papua mau merdeka lepas dari NKRI. Sampai saat ini kita
menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan
harapan semua orang. Mengapa itu bisa terjadi? Harus diingat bahwa
TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus
Papua.
Hanya
PDP menerima tapi dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog.
Tapi tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya
kalau kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di
universiatas tidak percaya Otsus Papua. D. Solusi Papua : Dialog
Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditampik Jakarta. Malah
sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan
militer Indonesia yang berada di kota, walaupun harus diakui bahwa
kelompok kompromistis ini, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”,
jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan
oleh pemerintah pusat. Tidak ada perundingan Papua dan Indonesia melalui
pintu dialog. Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah
monolog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri
bukan dialog TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari
terjadi dialog. Selama ini hanya pertemuan elit yang dilakukan kelompok
yang mengaku separatis (pejuang) Papua. Padahal yang harus diajak
berkompromi seharusnya TPN/OPM.
Sebab
yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan
Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Kita belum pernah saksikan
bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di
kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Yang dilibatkan
dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM
sungguhan tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah
bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua
bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh
siapapun. Sejauh ini terkesan pemerintah pusat tidak secara serius dan
konsisten melaksanak Otsus Papua. Misalnya honor MRP yang tidak dibayar
selama beberapa bulan, sekian banyak rekomendasi MRP yang tidak
ditanggapi pemerintah.
Padahal
pembentukan MRP dan pengesahan melalui UU dan sahkan sendiri oleh SBY.
Tapi barang yang disahkan pemerintah sendiri melalui UU tidak jelas gaji
anggota MRP darimana mau diambilaknnya. Bahkan bagi aktifis Papua
menganggap bahwa sekarang ini MRP bukan lagi lambang cultural rakyat
Papua Barat. MRP sekarang ini tidak lebih hanya superbody pemerintahan
colonial yang sebelumnya di era Gus-Dur, MRP mau difungsikan benar-benar
sebagai lambang cultural karena disana ada keterwakilan semua suku dan
budaya Papua seperti unsur perempuan, agama, dan golongan yang
mencirikan pluralitas semua suku masyarakat Papua.
TPN/OPM
tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan
mengganggu aktifitas pembangunan Papua pemerintah selama ini dalam
kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka.
Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok
lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian
konflik berkepanjangan di Papua. Dugaan pemerintah pusat Otsus Papua
dapat meredam anasir separatisme.
Tapi
Otsus sesungguhnya hanya punya potensi menimalisir bukan solusi final.
Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian selamanya, jika
penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM, maka perang antara
TNI/POLRI versus TPN/OPM tetap akan terjadi selamanya. Demikian juga
kalau penyelesaian tanpa pernah melibatkan kelompok separatisme
sesungguhnya TPN/OPM. Akhirnya harapan utopia” Papua Zona Damai” hanya
live service belaka para tokoh Agama Papua dan TNI/POLRI. Sebab selama
ini yang duduk berunding hanya beberapa orang kelompok pro Jakarta,
tanpa melibatkan tokoh intelektual Papua dan TPN/OPM di rimba raya
Papua. Mereka eksis mempertahankan idealisme, konsisten dengan prinsip
mereka, no comromi! Bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya
adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar
ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau
tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong
kosong. Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial
kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM
dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh
wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.
Selama
tuntutan mereka belum dipenuhi sepanjang jalan itu yang akan mereka
ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta
berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli
lingkungan. Bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya
Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah
dilibatkan. Pertemuan penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah
secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat.
Karena
keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua
tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik. Karena itu wajar
perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan
tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi,
tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap
eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi
pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM,
mahasiswa dan rakyat Papua selalu meneriakkan yel-yel perjuangan sambil
mengangkat issu-issu relevant.(admin)
Sumber: edudanews.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar