Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan bahwa dalam
demokrasi multibudaya semua pihak harus menerima segala perbedaan, belum
lulus ujian jika kita tidak bisa hidup dengan masyarakat berbeda agama.
“Dalam demokrasi multibudaya semua pihak harus menerima segala
perbedaan, termasuk perbedaan yang berasal dari identitas awal. Belum
lulus ujian kita jika hidup dengan masyarakat yang berbeda agamanya,”
kata Presiden SBY dalam pidatonya pada puncak acara The 4th World Peace Forum (WPF) di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (25/11).
WPF berlangsung dari 23-25 November, yang diadakan PP Muhammadiyah
dihadiri 200 peserta dari dalam dan luar negeri termasuk 50 tokoh dunia
dari Amerika Serikat, Australia, Maroko.
Kemajemukan budaya dicirikan oleh beragam identitas agama, suku,
kedaerahan, etnis, dan lain-lain. “Di satu sisi, kemajemukan adalah
rahmat dan kekayaan bagi suatu bangsa yang majemuk, namun jika tidak
dikelola dengan baik dan tidak adanya kesadaran dari masyarakat, tentu
bisa menjadi sumber konflik dan benturan,” kata Presiden SBY.
“Indonesia sebagai bangsa yang majemuk harus menjawab tantangan
demokrasi itu sendiri. Indonesia bisa membicarakan prinsip-prinsip dasar
yang boleh dianut agar kehidupan demokrasi semakin damai,” lanjutnya.
Tantangan khusus dalam demokrasi multikultural, lanjut presiden,
adalah perbedaan yang timbul bukan karena ideologi, kepentingan, dan
platform politik, tetapi juga benturan yang berangkat dari identitas.
Indonesia menghadapi tiga tantangan untuk diselesaikan.
Pertama, demokrasi yang masih dalam tahap pematangan. Kedua, keberagaman identitas, sehingga demokrasi kita semakin kompleks. Ketiga, proses politik ini menjadi panjang dan kompleks.
“Tidak bisa kita mengimpor demokrasi dari negara manapun dan serta
merta diterapkan dalam kehidupan negeri kita. Dalam demokrasi memang ada
nilai-nilai universal, tetapi selalu ada nilai-nilai lokal, seperti
nilai agama, budaya, dan kekhasan lainnya,” kata presiden.
Pandangan dan aspirasi dari suara terbanyak memang harus diterima,
namun “kita tidak boleh mengabaikan suara dari kaum minoritas dari
idenditas kaum yang berbeda. Setiap pihak harus membangun budaya untuk
menyelesaikan segala pertentangan secara damai dan menghindari cara-cara
yang uncivilized, seperti cara kekerasan,” tegasnya.
“Untuk kepentingan bangsa, marilah kita berpikir untuk kepentingan
bersama di atas kepentingan identitas kelompok manapun,” tegasnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin kepada media massa
sebelumnya mengatakan bahwa acara yang berlangsung 23-25 November itu
bertujuan untuk mengembangkan dialog terbuka tentang masalah identitas
multikulturalisme dan demokrasi yang melibatkan cendikiawan, media,
politisi, dan sebagainya.
Din Syamsuddin juga mengatakan bahwa WPF bukan lembaga dialog agama
karena acara WPF nantinya tidak hanya dihadiri oleh tokoh agama. WPF
diselenggarakan oleh Muhammadiyah yang bekerja sama dengan Cheng Ho Multi Culture Trust and Centre For Dialog and Corporation among Civilitation (CDCC).
Sumber: indonesia.ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar