(Sinar Papua)- Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi
ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat,
dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan
Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena
Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional
(TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik
Papua Barat.
“Tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga Papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh,” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrates Sofyan Yoman kepada itoday (18/6).
Masalah
Papua tak juga kunjung selesai sampai sekarang. Belakangan, berbagai
peristiwa penembakan terhadap warga dan aparat sering kali terjadi.
Keamanan dan stabilitas di Papua belum juga tercipta. Pendekatan militer
yang ditempuh pemerintah Indonesia rupanya justru makin meningkatkan
militansi dan perlawanan kaum separatis seperti yang dulu dicurigai
sebagai Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Namun, ketika pendekatan ini perlahan-lahan diubah dengan
memberi Papua otonomi khusus, ternyata masalah juga tak kunjung selesai.
Mengapa Papua terus bergolak?
Sebuah kajian historis tentang Papua
dengan rentang waktu 1925 – 1962 yang dikupas secara mendalam oleh
sejarawan Bernada Meteray dalam buku yang berjudul “Nasionalisme Ganda Orang Papua“. Buku
yang diangkat dari disertasi penulis bertema sejarah ini, mencoba
menemukan jawabannya. Beliau mengupas sejarah Papua sejak pertama kali
Kerajaan Sriwijaya (abad VIII) menginjakkan kakinya di sini, disusul
Majapahit (abad XIV), lalu Ternate dan Tidore (abad XVI). Suatu
keterangan yang dapat menunjukkan bahwa Papua pernah merupakan daerah
kekuasaan Sultan Tidore dan Bacan sebagaimana yang dikatakan oleh
Koentjaraningrat dan Prof.Dr.Harsya W.Bachtiar dalam penelitiannya yang
diungkapkan didalam buku yang berjudul : “ Penduduk Irian Barat “ bahwa
pertemuan pertama antara orang – orang pribumi Irian Barat dengan orang –
orang dari luar daerah terjadi ketika Sultan Tidore berusaha memperluas
wilayah. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung
sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau
disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore. , kemudian datanglah Belanda (VOC), Jepang, hingga pemerintah Indonesia.
Istilah “Papua” asal-usulnya masih
kontroversi, kata ini tidak dapat dikaitkan dengan suku-suku tertentu di
Papua, tetapi hanya sebutan orang Maluku bagi penduduk disebelah timur.
Kata papua berasal dari bahasa Melayu, poea-poea, yang artinya
“keriting”. Menurut M. Amir Sutaarga, di Papua terdapat keanekaragaman
latar belakang ras, yaitu Negroid, Melanosoid, Mikronesia dan
Mongoloid. Keanekaragaman Papua juga tampak dari 250 bahasa yang mereka
gunakan. Di beberapa daerah, penduduk menggunakan bahasa lokal dengan
dialek berbeda-beda. Misalnya, masyarakat Biak menggunakan satu bahasa,
sedang Waropen dua bahasa (hal 3).
Bernada Meteray, mengurai benang pangkal
dinamika pergolakan rakyat Papua dari beberapa aspek yaitu historis,
ideologis dan politis yang bermuara pada satu titik yaitu nasionalisme.
Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia, masalah ke-papua-an dan
ke-indonesia-an menjadi pangkal dinamika yang melahirkan pergolakan
rakyat Papua sampai hari ini.
Munculnya dua nasionalisme di Papua,
yaitu nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia, merupakan situasi
yang dilematis dalam pemahaman sejarah Papua sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, buku ini berupaya menjawab
pertanyaan umum :” Apakah generalisasi tentang nation dan
nasionalisme yang selama ini bermuara pada nasionalisme Indonesia dalam
penulisan sejarah Indonesia tidak bertentangan dengan fakta historis di
Papua?” (hal 259)
Melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 ditegaskan
bahwa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Wilayah yang dimaksud
meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Maluku. Pada masa itu Papua merupakan bagian dari
Provinsi Maluku.
Papua memiliki pengalaman sejarah yang
berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai dengan masih
berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya, perkembangan
nasionalisme Indonesia di provinsi ini berbeda corak. Perbedaan ini
mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada tahun 1925
dan nasionalisme Indonesia pada tahun 1945 di bumi Papua. (hal 11)
Menurut Audrey Kahin (1985), akibat dari
batasan wilayah negara Indonesia yang didasarkan pada bekas wilayah
Hindia Belanda, sering dibuat generalisasi dalam sejarah Indonesia.
Begitu banyak generalisasi yang dibuat berdasarkan tingkat revolusi
sejarah nasional dan sejumlah pengalaman pemimpin Republik Indonesia di
pusat pemerintahan yang menciptakan ketidakseimbangan gambaran tentang
pengalaman revolusi. Menurut dia, generalisasi yang sering dilakukan
para sarjana tidak dapat diterapkan untuk seluruh Indonesia. Memang,
harus diakui bahwa Indonesia merupakan satu bangsa dari Sabang sampai
Merauke, tetapi harus juga diakui adanya pendapat bahwa bangktinya
nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.
(hal 16)
Nasionalisme di Papua ?
Secara resmi Pemerintahan Belanda
menguasai Papua pada 1828 setelah mendirikan benteng di Lobo, Teluk
Triton (Skr wilayah Kabupaten Kaimana) sementara pos pemerintahan Hindia
Belanda baru didirikan pada tahun 1898. Sistem administratif yang
diterapkan Pemerintah Belanda di Papua berbeda dengan sistem
administrasi yang diterapkan di daerah lain dalam wilayah Hindia
Belanda. Biasanya Pemerintah Belanda menunjuk pemimpin lokal sebagai
pejabat pemerintah. Di Papua, kelompok sosial terdidik sangat sedikit
sehingga memanfaatkan dari Maluku, khususnya Ambon, untuk bidang
pemerintahan. Sebagai akibatnya muncul dua lapis sistem kolonial di
dalam masyarakat Papua. (hal 25)
Sistem pemerintahan yang bersifat dual colonialism
yang diperankan kelompok atas, yakni segelintir orang Belanda, dan
kelompok bawah, yaitu mayoritas orang Indonesia yang melakukan kontak
dengan orang Papua menjadi akar masalah yang akhirnya menimbulkan
perasaan saling berbeda antara orang Papua dan orang Indonesia. Dalam
berbagai konflik, Orang Papua cenderung memusuhi orang Indonesia
daripada orang Belanda. (hal 29)
Menurut Meterey, bersemainya kesadaran
kepapuaan sebagai suku bangsa tidak lepas dari peran misi Katolik dan
zending Protestan yang sudah dimulai sejak tahun 1855, jauh sebelum pos
pemerintah Belanda didirikan pada tahun 1898. Mereka memperkenalkan
penggunaan bahasa Melayu dan budaya Melayu serta ide Barat kepada orang
Papua. (hlm 31).
Ini berlangsung hingga Jepang
menginjakkan kakinya di Hindia pada April 1942 yang selanjutnya
menguasai Merauke. Berbeda dengan sikap orang Papua terhadap Belanda,
sikap mereka terhadap Jepang lebih cenderung menentang karena Jepang
kejam. Karena itu, ketika Sekutu mendarat di Hindia pada April 1944,
dianggap sebagai pembebas dari Jepang. Mereka membantu Sekutu mengusir
Jepang. Kedatangan Sekutu, menurut Lagerberg (1979), memotivasi
masyarakat Papua memikirkan kembali identitas mereka (hlm 49).
Sementara itu, nasionalisme Indonesia di
Papua disemai tokoh-tokoh nasionalis mulai akhir 1945 ketika residen Van
Eechoud merekrut beberapa orang Indonesia sebagai pegawai pemerintah,
di antaranya Soegoro Atmoprasodjo yang ditunjuk sebagai pengajar dan
direktur asrama pada Kursus Singkat Pamong Praja di Kota Nica.
Kesempatan ini digunakan Soegoro untuk meyakinkan para siswanya untuk
berpikir bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia Beberapa orang
yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam
aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe,
Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus
Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks,
Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan. (hlm 55).
Strategi Belanda Menghancurkan Impian Indonesia Pasca- KMB
Sebagai konsekuensi dari hasil KMB yang
berlangsung pada 27 Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada
pemerintahan Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi.
Dengan demikian, penyerahan kedaulatan mencakup seluruh bekas jajahan
Hindia Belanda tanpa Papua. (hal 143)
Memanfaatkan momentum, J.P.K van Eechoud
mengeluarkan proklamasi yang menyatakan bahwa warga bekas Keresidenan
Nederlands Nieuw Guinea alias Papua telah menjadi penduduk Gubernemen
Nederland Nieuw Guinea, “yang pemerintahannya akan dijalankan oleh gubernur atas nama ratu kita semua“.
Dengan proklamasi ini, secara administratif Papua tidak mempunyai
hubungan dengan pemerintahan pusat di Jakarta. Van Eechoud (seorang
Katolik) inilah sejak ditunjuk sebagai pejabat residen tahun 1945 telah
menumbuhkan kesadaran nasionalisme kepapuaan. Resident J. P. K.
van Eechoud yang terkenal dengan nama “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang
Papua) mempunyai misi khusus untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan
membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda.
Tidak ada itikad dari Belanda untuk
menyerahkan Papua ketangan pemerintahan Indonesia. Justru sebaliknya,
Belanda berupaya untuk menghalangi dukungan rakyat di Papua kepada
pemerintahan Indonesia, sejak 1950 Belanda menindak tegas kegiatan yang
dilakukan rakyat, baik yang asli Papua maupun non-Papua dengan menangkap
dan menahan para aktivis pro-Indonesia. (hal 163)
Selama periode 1945 – 1962 Indonesia
tidak memiliki wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua secara
terbuka. dapat dikatakan proses pengindonesiaan orang Papua yang
dilakukan tidak tuntas, baru tahap awal, dan tidak menjangkau sebagian
besar masyarakat Papua di pedalaman.
Sebaliknya, berdasarkan pengalaman
Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945,
maka Belanda didalam menjajah Papua sangat hati-hati sekali dalam
meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda
sengaja memperlambat perkembangan di Papua/Nieuw Guinea sesuai dengan
permintahaan dan kebutuhan orang-orang Papua. Katakanlah bahwa ini suatu
bentuk “Etis-Politik Gaya Baru”. Termasuk didalamnya usaha untuk
membentuk “Nasionalisme Papua”. Cara
Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa
bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan
perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan
tekanan dari Belanda.
Sampai di sinilah masyarakat Papua
terbelah menjadi dua: yang pro-Indonesia dan Belanda. Babak selanjutnya
adalah “perebutan” Papua oleh Indonesia dan Belanda yang berakhir secara
resmi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang
menggambarkan sebagian besar masyarakat Papua ingin berintegrasi dengan
Indonesia.
Penutup
Walaupun hasil Pepera menunjukan bahwa
Papua merupakan bagian yang sah dari wilayah NKRI, masalah Papua masih
terus bergolak hingga dewasa ini. Munculnya keraguan terhadap hasil
Pepera 1969 pada sebagian masyarakat di Papua mungkin dikaitkan dengan
pernyataan Amir Mahmud sekembalinya dari peninjauan Pepera 1969, bahwa
sebagian besar rakyat Papua belum sadar politik, maka penduduknya cukup
menyebut “Soeharto, Merah Putih, dan Indonesia“. Dia juga menegaskan, “kenyataan menunjukan bahwa sebagian terbesar dari penduduk tidak bersimpati kepada RI”.
Kini nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia masih sebuah dilematis bagi rakyat Papua. IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland)
adalah persoalan pengindonesian rakyat Papua yang tidak pernah
tertuntaskan sampai sekarang sehingga dilema yang terjadi bukan lagi
“ikut RI” atau “ikut Nederland” tetapi sudah pada mencari pilihan lain
yaitu hak menentukan nasib sendiri alias MERDEKA. Sebuah pelajaran yang
berharga atas nama Indonesia………..
********
Judul : Nasionalisme Ganda Orang Papua
Penulis : Bernarda Meteray
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : xxx+302 halaman
ISBN : 978-979-709-644-1
Penulis : Bernarda Meteray
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : xxx+302 halaman
ISBN : 978-979-709-644-1
NB : Terima kasih kepada Sociopolitica yang telah memberikan saran untuk membaca buku yang bagus ini.
Sumber: serbasejarah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar