Jumat, 03 Agustus 2012

Dilema Papua : Ke-papua-an versus Ke-indonesia-an

(Sinar Papua)- Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem  sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai  sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.
“Tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga Papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh,” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrates Sofyan Yoman kepada itoday (18/6).
Masalah Papua tak juga kunjung selesai sampai sekarang. Belakangan, berbagai peristiwa penembakan terhadap warga dan aparat sering kali terjadi. Keamanan dan stabilitas di Papua belum juga tercipta. Pendekatan militer yang ditempuh pemerintah Indonesia rupanya justru makin meningkatkan militansi dan perlawanan kaum separatis seperti yang dulu dicurigai sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, ketika pendekatan ini perlahan-lahan diubah dengan memberi Papua otonomi khusus, ternyata masalah juga tak kunjung selesai. Mengapa Papua terus bergolak?
Sebuah kajian historis tentang Papua dengan rentang waktu 1925 – 1962 yang dikupas secara mendalam oleh sejarawan Bernada Meteray dalam buku yang berjudul “Nasionalisme Ganda Orang Papua“. Buku yang diangkat dari disertasi penulis bertema sejarah ini, mencoba menemukan jawabannya. Beliau mengupas sejarah Papua sejak pertama kali Kerajaan Sriwijaya (abad VIII) menginjakkan kakinya di sini, disusul Majapahit (abad XIV), lalu Ternate dan Tidore (abad XVI). Suatu keterangan yang dapat menunjukkan bahwa Papua pernah merupakan daerah kekuasaan Sultan Tidore dan Bacan sebagaimana yang dikatakan oleh Koentjaraningrat dan Prof.Dr.Harsya W.Bachtiar dalam penelitiannya yang diungkapkan didalam buku yang berjudul : “ Penduduk Irian Barat “ bahwa pertemuan pertama antara orang – orang pribumi Irian Barat dengan orang – orang dari luar daerah terjadi ketika Sultan Tidore berusaha memperluas wilayah. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore. , kemudian datanglah Belanda (VOC), Jepang, hingga pemerintah Indonesia.
Istilah “Papua” asal-usulnya masih kontroversi, kata ini tidak dapat dikaitkan dengan suku-suku tertentu di Papua, tetapi hanya sebutan orang Maluku bagi penduduk disebelah timur. Kata papua berasal dari bahasa Melayu, poea-poea, yang artinya “keriting”.  Menurut M. Amir Sutaarga, di Papua terdapat keanekaragaman latar belakang ras, yaitu Negroid, Melanosoid, Mikronesia dan Mongoloid. Keanekaragaman Papua juga tampak dari 250 bahasa yang mereka gunakan. Di beberapa daerah, penduduk menggunakan bahasa lokal dengan dialek berbeda-beda. Misalnya, masyarakat Biak menggunakan satu bahasa, sedang Waropen dua bahasa (hal 3).
Bernada Meteray, mengurai benang pangkal dinamika pergolakan rakyat Papua dari beberapa aspek yaitu historis, ideologis dan politis yang bermuara pada satu titik yaitu nasionalisme. Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia, masalah ke-papua-an dan ke-indonesia-an menjadi pangkal dinamika yang melahirkan pergolakan rakyat Papua sampai hari ini.
Munculnya dua nasionalisme di Papua, yaitu nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia, merupakan situasi yang dilematis dalam pemahaman sejarah Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, buku ini berupaya menjawab pertanyaan umum :” Apakah generalisasi tentang nation dan nasionalisme yang selama ini bermuara pada nasionalisme Indonesia dalam penulisan sejarah Indonesia tidak bertentangan dengan fakta historis di Papua?” (hal 259)
Melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 ditegaskan bahwa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Wilayah yang dimaksud meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Pada masa itu Papua merupakan bagian dari Provinsi Maluku.
Papua memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai dengan masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya, perkembangan nasionalisme Indonesia di provinsi ini berbeda corak. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada tahun 1925 dan nasionalisme Indonesia pada tahun 1945 di bumi Papua. (hal 11)
Menurut Audrey Kahin (1985), akibat dari batasan wilayah negara Indonesia yang didasarkan pada bekas wilayah Hindia  Belanda, sering dibuat generalisasi dalam sejarah Indonesia. Begitu banyak generalisasi yang dibuat berdasarkan tingkat revolusi sejarah nasional dan sejumlah pengalaman pemimpin Republik Indonesia di pusat pemerintahan yang menciptakan ketidakseimbangan gambaran tentang pengalaman revolusi. Menurut dia, generalisasi yang sering dilakukan para sarjana tidak dapat diterapkan untuk seluruh Indonesia. Memang, harus diakui bahwa Indonesia merupakan satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, tetapi harus juga diakui adanya pendapat bahwa bangktinya nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. (hal 16)

Nasionalisme di Papua ?

Secara resmi Pemerintahan Belanda menguasai Papua pada 1828 setelah mendirikan benteng di Lobo, Teluk Triton (Skr wilayah Kabupaten Kaimana) sementara pos pemerintahan Hindia Belanda baru didirikan pada tahun 1898. Sistem administratif yang diterapkan Pemerintah Belanda di Papua berbeda dengan sistem administrasi yang diterapkan di daerah lain dalam wilayah Hindia Belanda. Biasanya Pemerintah Belanda menunjuk pemimpin lokal sebagai pejabat pemerintah. Di Papua, kelompok sosial terdidik sangat sedikit sehingga memanfaatkan dari Maluku, khususnya Ambon, untuk bidang pemerintahan. Sebagai akibatnya muncul dua lapis sistem kolonial di dalam masyarakat Papua. (hal 25)
Sistem pemerintahan yang bersifat dual colonialism yang diperankan kelompok atas, yakni segelintir orang Belanda, dan kelompok bawah, yaitu mayoritas orang Indonesia yang melakukan kontak dengan orang Papua menjadi akar masalah yang akhirnya menimbulkan perasaan saling berbeda antara orang Papua dan orang Indonesia. Dalam berbagai konflik, Orang Papua cenderung memusuhi orang Indonesia daripada orang Belanda. (hal 29)
Menurut Meterey, bersemainya kesadaran kepapuaan sebagai suku bangsa tidak lepas dari peran misi Katolik dan zending Protestan yang sudah dimulai sejak tahun 1855, jauh sebelum pos pemerintah Belanda didirikan pada tahun 1898. Mereka memperkenalkan penggunaan bahasa Melayu dan budaya Melayu serta ide Barat kepada orang Papua. (hlm 31).
Ini berlangsung hingga Jepang menginjakkan kakinya di Hindia pada April 1942 yang selanjutnya menguasai Merauke. Berbeda dengan sikap orang Papua terhadap Belanda, sikap mereka terhadap Jepang lebih cenderung menentang karena Jepang kejam. Karena itu, ketika Sekutu mendarat di Hindia pada April 1944, dianggap sebagai pembebas dari Jepang. Mereka membantu Sekutu mengusir Jepang. Kedatangan Sekutu, menurut Lagerberg (1979), memotivasi masyarakat Papua memikirkan kembali identitas mereka (hlm 49).
Sementara itu, nasionalisme Indonesia di Papua disemai tokoh-tokoh nasionalis mulai akhir 1945 ketika residen Van Eechoud merekrut beberapa orang Indonesia sebagai pegawai pemerintah, di antaranya Soegoro Atmoprasodjo yang ditunjuk sebagai pengajar dan direktur asrama pada Kursus Singkat Pamong Praja di Kota Nica. Kesempatan ini digunakan Soegoro untuk meyakinkan para siswanya untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan. (hlm 55).

Strategi Belanda Menghancurkan Impian Indonesia Pasca- KMB

Sebagai konsekuensi dari hasil KMB yang berlangsung pada 27 Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada pemerintahan Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi. Dengan demikian, penyerahan kedaulatan mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda tanpa Papua. (hal 143)
Memanfaatkan momentum, J.P.K van Eechoud mengeluarkan proklamasi yang menyatakan bahwa warga bekas Keresidenan Nederlands Nieuw Guinea alias Papua telah menjadi penduduk Gubernemen Nederland Nieuw Guinea, “yang pemerintahannya akan dijalankan oleh gubernur atas nama ratu kita semua“. Dengan proklamasi ini, secara administratif Papua tidak mempunyai hubungan dengan pemerintahan pusat di Jakarta. Van Eechoud (seorang Katolik) inilah sejak ditunjuk sebagai pejabat residen tahun 1945 telah menumbuhkan kesadaran nasionalisme kepapuaan.  Resident J. P. K. van Eechoud yang terkenal dengan nama “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang Papua) mempunyai misi khusus untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda.
Tidak ada itikad dari Belanda untuk menyerahkan Papua ketangan pemerintahan Indonesia. Justru sebaliknya, Belanda berupaya untuk menghalangi dukungan rakyat di Papua kepada pemerintahan Indonesia, sejak 1950 Belanda menindak tegas kegiatan yang dilakukan rakyat, baik yang asli Papua maupun non-Papua dengan menangkap dan menahan para aktivis pro-Indonesia. (hal 163)
Selama periode 1945 – 1962 Indonesia tidak memiliki wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua secara terbuka. dapat dikatakan proses pengindonesiaan orang Papua yang dilakukan tidak tuntas, baru tahap awal, dan tidak menjangkau sebagian besar masyarakat Papua di pedalaman.
Sebaliknya, berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Papua sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Papua/Nieuw Guinea sesuai dengan permintahaan dan kebutuhan orang-orang Papua. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk “Etis-Politik Gaya Baru”. Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk “Nasionalisme Papua”. Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.
Sampai di sinilah masyarakat Papua terbelah menjadi dua: yang pro-Indonesia dan Belanda. Babak selanjutnya adalah “perebutan” Papua oleh Indonesia dan Belanda yang berakhir secara resmi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menggambarkan sebagian besar masyarakat Papua ingin berintegrasi dengan Indonesia.

Penutup

Walaupun hasil Pepera menunjukan bahwa Papua merupakan bagian yang sah dari wilayah NKRI, masalah Papua masih terus bergolak hingga dewasa ini. Munculnya keraguan terhadap hasil Pepera 1969 pada sebagian masyarakat di Papua mungkin dikaitkan dengan pernyataan Amir Mahmud sekembalinya dari peninjauan Pepera 1969, bahwa sebagian besar rakyat Papua belum sadar politik, maka penduduknya cukup menyebut “Soeharto, Merah Putih, dan Indonesia“. Dia juga menegaskan, “kenyataan menunjukan bahwa sebagian terbesar dari penduduk tidak bersimpati kepada RI”.
Kini nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia masih sebuah dilematis bagi rakyat Papua. IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) adalah persoalan pengindonesian rakyat Papua yang tidak pernah tertuntaskan sampai sekarang sehingga dilema yang terjadi bukan lagi “ikut RI” atau “ikut Nederland” tetapi sudah pada mencari pilihan lain yaitu  hak menentukan nasib sendiri alias MERDEKA. Sebuah pelajaran yang berharga atas nama Indonesia………..
********
Judul : Nasionalisme Ganda Orang Papua
Penulis : Bernarda Meteray
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : xxx+302 halaman
ISBN : 978-979-709-644-1
NB : Terima kasih kepada Sociopolitica yang telah memberikan saran untuk membaca buku yang bagus ini.

Sumber: serbasejarah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar