JAKARTA - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencurigai agenda
di balik kedatangan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Indonesia
pada 4 September 2012 mendatang.
Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), National Papua Solidarity
(Napas), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan beberapa
kelompok masyarakat lainnya menduga kedatangan tersebut terkait
keberadaan Freeport.
Mereka mewaspadai kedatangan Hillary akan membawa agenda AS dalam
rangka mempertahankan dominasinya menguasai kekayaan alam Indonesia,
khususnya dalam sektor tambang.
"Kedatangan Hillary ke Indonesia bertepatan dengan sedang
berlangsungnya proses renegoisasi kontrak antara pemerintah Indonesia
dengan PT Freeport," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Repdem,
Masinton Pasaribu di Sekretariat Repdem, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu
(2/9/2012).
Menurutnya, kedatangan Menlu AS memiliki kepentingan tersendiri dalam
mempertahankan kekuatan politik dan ekonomi AS di Indonesia. Masalah
Freeport untuk kepentingan AS sendiri diduga akan diperbincangkan dalam
kedatangannya nanti.
"Kedatangan ini Amerika tetap berkepentingan mempertahankan dominasi
politik dan ekonominya di wilayah Indonesia, khususnya untuk
mempertahankan wilayah regional Asia Pasifik. Apalagi amerika sudah
mempertahankan Asia Pasifik sebagai masa depan dunia," terangnya.
Kedatangan Hillary dikhawatirkan akan mengintervensi pemerintah
Indonesia dalam renegoisasi kontrak pada PT Freeport. Menurut Masinton
keberadaan PT Freeport selama ini tak pernah menguntungkan rakyat Papua.
Justru kerugian besar bagi Indonesia karena sumber daya alamnya makin
habis dikuasai oleh asing.
"Kami meminta supaya pemerintah tidak melakukan renegoisasi sepihak
yang pernah dilakukan pada orde baru, Soeharto pada Freeport yang tidak
melibatkan rakyat, tidak meminta persetujuan rakyat indonesia, khususnya
warga papua," ujarnya.
Sejak kontrak Karya I tahun 1967, perusahaan Freeport telah mengalami
perpanjangan kontrak karya II tahun 1991 untuk 30 tahun, hingga dua kali
10 tahun perpanjangan kontrak berikutnya hingga 2041. Proses
perpanjangan kontrak menurutnya tanpa ada renegoisasi untuk kepentingan
nasional.
Mereka meminta pemerintah segera mengevaluasi kontrak terhadap Freeport
dan operasionalnya selama ini. Keberadaan Freeport selama ini dinilai
tak mampu menyejahterakan masyrakat Papua di tanahnya sendiri.
"Pemerintah dalam melakukan renegoisasi ini jangan setengah hati,
jangan berpikiran jangka pendek. Kita pengin renegoisasi ini diletakkan
dalam kepentingan nasional, dan kepentingan rakyat Indonesia ke depan
dan rakyat papua. Nah, kalau renegoisasi ini tidak menempatkan itu kami
minta renegoisasi ini dihentikan," ujarnya.
Hal senada dikatakan Alves Fonataba, Juru bicara National Papua
Solidarity. Ia justru meminta penambangan PT Freeport segera dihentikan.
Mereka mendesak nasionalisasi Freeport tanpa syarat demi mewujudkan
negara kedaulatan rakyat Papua atas kekayaan emasnya.
"Kami minta ditutup, karena tidak menguntungkan sama sekali. Kalau
pemerintah bilang ada kesejahteraan itu bertentangan, pengelolaan sumber
daya alam saja sudah tidak adil," ujar Alves.
Sumber: atjehpost.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar