JAKARTA - Peluang renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia makin
terbuka. Pemerintah dan Freeport sudah memberi sinyal kesiapan melakukan
dialog. Meski begitu, belum ada hasil menggembirakan dari dialog
tersebut karena kedua belah pihak masih saling menunggu.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini
mengatakan, hingga kini pemerintah masih terus mengkaji renegosiasi
kontrak karya dengan Freeport. "Masalah teknis sedang dipelajari
pemerintah," ujar Rudi kepada Republika, Kamis, 28 Juni 2012.
Jika Freeport memang siap berdialog dengan pemerintah, ujar Rudi,
tentunya pemerintah bakal mengajak Freeport untuk bicara sesegera
mungkin. Dia berharap, pembicaraan dengan Freeport itu bisa menjadi awal
yang baik dalam proses renegosiasi kontrak karya.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B Soetjipto mengatakan,
saat ini pihaknya dalam posisi siap duduk bersama dengan Pemerintah
Indonesia dalam melanjutkan pembicaraan renegosiasi kontrak karya. "Kami
masih menunggu panggilan dari timnya Pak Hatta (Menko Perekonomian,),"
ujar Rozik, Kamis, 28 Juni 2012.
Kesiapan Freeport melakukan renegosiasi itu juga termasuk membicarakan
soal peninjauan ulang besaran royalti yang harus dibayarkan perusahaan
tambang Amerika Serikat (AS) ini kepada Pemerintah Indonesia. Terkait
besaran royalti, Rozik mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar
banyak karena semuanya masih berproses.
Freeport melakukan penandatanganan kontrak karya untuk masa 30 tahun
pada 1967 silam. Kontrak karya itu yang menjadikan Freeport sebagai
kontraktor eksklusif tambang Ertsberg, Papua, di atas wilayah 10
kilometer persegi. Pada 1989, Indonesia memberi izin perluasan area
eksplorasi hingga 61 ribu hektare.
Freeport menandatangani kontrak karya baru dengan masa berlaku 30 tahun
berikut dua kali perpanjangan 10 tahun pada 1991 dan akan berakhir 2041
nanti. Royalti yang diberi Freeport kepada pemerintah hanya satu persen
untuk emas, sedangkan royalti tembaga 1,5 hingga 3,5 persen.
Royalti dipandang amat rendah oleh banyak pihak. Alasannya, di
negara-negara lain, royalti kepada pemerintah dari pertambangan emas
mencapai lima persen, sedangkan tembaga enam persen. Melalui Keputusan
Presiden (Keppres) No 3/2012, pemerintah membentuk tim evaluasi untuk
penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batu bara (PKP2B).
Renegosiasi dilakukan untuk menyesuaikan isi kontrak. Renegosiasi perlu
berjalan agar kontrak karya memberi manfaat optimal bagi bangsa
Indonesia dan meningkatkan penerimaan negara. Selain royalti, ada
sejumlah hal lain yang juga bakal dinego ulang pemerintah dengan
Freeport, seperti luas wilayah dan divestasi.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRES) Marwan Batubara
mengatakan, pemerintah sebaiknya menutup pabrik Freeport jika perusahaan
itu menolak menaikkan royalti dalam dialog terkait renegosiasi kontrak
karya. Langkah itu penting untuk memperlihatkan bentuk ketegasan
pemerintah.
"Yang jelas, Freeport itu sudah menunjukkan sikap penolakannya pada
kontrak kerja yang sedang dibahas saat ini," katanya saat dihubungi
Republika, Kamis (28/6). Menurut Marwan, sikap itu tecermin dari
pernyataan petinggi Freeport dan Kedutaan Besar AS di Indonesia. Tanpa
ada ketegasan dari pemerintah, Indonesia akan terus dipermainkan.
Tahun ini, Freeport berencana membayar dividen kepada negara sebesar Rp
1,5 triliun. Dividen ini turun 14,77 persen dibandingkan tahun lalu
yang sebesar Rp 1,76 triliun. Freeport pernah membayar dividen lebih
besar, yakni Rp 2,09 triliun pada 2009, namun 2010 setorannya turun
27,75 persen menjadi Rp 1,51 triliun.
Sumber: atjehpost.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar