Selasa, 20 November 2012

Kala Warga Mee Tak Lagi Nikmati Alam Mereka

Kala Warga Mee Tak Lagi Nikmati Alam Mereka
Oleh Yermias Degei

MASYARAKAT adat Mee, tinggal di tanah adat Yaro, secara administrasi pemerintah masuk Distrik Yaro, Kabupaten Nabire, Papua. Ia berada di kaki gunung keramat, Huwou dan Waihai. Hamparan hutan luas.

Di kawasan ini ada emas, beragam jenis kayu, tanah subur, banyak rotan, dan potensi masoi. Udang berkelimpah, ikan air tawar, tikus tanah, ada kuskus hutan. Ada beraneka burung, babi hutan, obat-obatan alami melimpah, makanan alami, bahan payung tradisional, sampai bahan panah dan busur tersedia di sana. “Tahun 2000 ke bawah, wilayah Yaro, berlimpah kekayaan,” kata Kepala Kampung Ororodo, Yohana Mekey, Jumat (20/7/12).

Namun, semua itu hilang. Sekarang tidak ada. Hutan telah dibabat habis oleh PT Jati Dharma Indah. Mereka tidak hanya mengambil kayu juga memburu kuskus, ikan, dan burung. Burung-burung sudah dibunuh dengan senapan angin.

Kepala Kampung Ororodo, Yohana Mekey. Foto: Yermias Degei
Sungai pun tercemar karena mereka menangkap ikan menggunakan pestisida akodan. “Ikan dan udang, dibabat dengan obat (pestisida akodan-red) sungai-sungai tercemar. Sekarang sudah tidak ada semua. Dulu, dekat-dekat. Sekarang kami harus pergi jauh ke hutan sana,” kata Yohana. Perempuan 60 tahun ini menunjuk ke arah hutan.

Menurut dia, ketika perusahaan beroperasi, masyarakat di Yaro tidak boleh berburu dan mencari ikan. “Waktu itu, kami tidak bisa masuk hutan kami. Perusahaan bilang, itu tanah dia. Padahal, ini tanah kami.”

Saat ini, warga tak hanya kehilangan hutan beserta aneka flora fauna. Mereka juga kehilangan tanah adat mereka. Bagi dia, kehilangan tanah adalah kehilangan sesuatu yang sangat berarti. “Soal tanah di Yaro, sekarang sebagian sudah diambil orang secara bebas. Kami tidak kuat bicara. Memang benar, tahun 1996 ke bawah, tanah dan hutan milik kami. Sekarang, pemerintah kirim orang luar ke sini,” ucap Yohana.

Tak hanya perusahaan. Transmigrasi juga mulai di daerah ini tahun 1996. Warga transmigrasi menempati tanah adat mereka. Sekarang ada Satuan Perumahan (SP) 1, SP2 dan SP3 yang disiapkan pemerintah. “Hak ulayat untuk tempat trasmigrasi, pemerintah bayar Rp900 ribu.”

Budi, warga transmigrasi, mengatakan, penduduk trans banyak dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedang dari Manado dan Ternate datang sendiri dan tinggal di sana.

“Bisa lihat. Rumah warga lokal, dengan bahan bangunan gegabah dan papan cincang. Nampak berbeda dengan bentuk dan struktur bangunan milik warga trans. Rumah warga lokal lebih banyak beratapkan daun pandan, kadang didapati seng beberapa lembar terselip. Sejumlah dinding rumah milik warga lokal ditutupi dengan papan cincang atau gegabah,” ucap Budi.

Martinus Kegou, tokoh Masyarakat Yaro mengatakan, mereka keturunan ke 12 di atas tanah ini. “Kami menganggap tanah itu sama dengan kuskus, burung, dan manusia. Kami jaga tanah kami. Kami masuk hutan sampai enam atau tujuh bulan lalu pulang. Hutan itu tempat kami hidup.”

Hamparan hutan di Yaro secara turun-temurun milik tiga marga, Mekey, Kedeikoto dan Hupi. Marga Mekey, dibagi menjadi tiga, Bukisa, Tikiso, dan Megauwi. Marga Kedeikoto dibagi menjadi marga Nepou, Dumaou, dan Boma. Marga-marga lain seperti Kegou, Kamo Nipoto, Madai, Tebay, Kahame, dan Wakey.

“Tanah kami tidak ada yang kosong. Moyang kami telah membagi sejak zaman dulu. Marga Mekey mendiami kepala air Kadihai. Bukisa kuasai wilayah Waisai. Tikiso kepala air kali Kibihau bagian Timur kali Kiha sampai Waihai. Terus, Kedeikoto, Nepon, Dumou, dan Boma, menguasai kepala air Waihai sampai kepala air kali Peke,” kata Martinus.

Yunus Kegou, Ketua Koperasi Masyarakat mengungkapkan hal senada. Dulu, masyarakat benar-benar menjaga tanah dan hutan. “Karena itu adalah mereka. Kami hidup di atas tanah dengan memanfaatkan semua. Kami tahu bagaimana cara menjaga itu semua agar tetap hidup. Kami benar-benar menjaga sungai, pohon-pohon khusus tempat cendrawasih menari. Kami berharap mereka (perusahaan HPH-red) dan pemerintah ikut menjaga kami dan tanah kami,” harap Yunus.

Ilustrasi: kayu-kayu hutan Papua, dikikis pelahan oleh pemilik modal. Sedang, masyarakat adat hanya mampu melihat kerusakan alam mereka. Foto: Greenpeace


Perusahaan pemegang hak penguasaan hutan (HPH) boleh mengambil hutan dengan tetap menghargai masyarakat adat. “Menjaga apa yang kami jaga selama ini, supaya kami tetap hidup. Namun, yang terjadi saat ini adalah asal ambil.” Keinginan masyarakat agar hutan bisa bermanfaat dalam bentuk bina desa. Namun, pemegang HPH tidak memberikan itu.

Dia menjelaskan, pemegang HPH yang masuk di daerah ini PT Sesco tahun 1990-1991. PT Sesco, tidak mengikuti kubikasi dari pemerintah. Sampai kini, PT Sesco masih belum membayar Rp40 juta dengan hitungan satu kubik Rp1.000. “Permintaan masyarakat, empat motor, empat sensor, dan satu mobil belum dilunasi sampai kini.”

Sekitar 2003, ada tiga perusahaan masuk. PT Sesco berganti nama menjadi PT Pakartioga. Dua perusahaan lain, PT Junindo dan PT Kalimanis (PT Jati Dharma Indah). “Saya tidak tahu dari perusahaan apa tapi mereka yang kelola hutan adalah Mrs. Tan, Mrs. Won, Mrs. Lohu.”

Tak hanya alam rusak dan masalah ekonomi. Pendidikan dan kesehatan masyarakat Yaro pun memprihatinkan. Itu yang dikeluhkan Pendeta Ruben Tebay .

Selama HPH masuk, hak ulayat saja tidak ada, apalagi gedung sekolah atau beasiswa. Di kampung ini ada SD Yayasan Pendidikan Kristen, tetapi tidak ada guru. “Di daerah trans ada SD Inpres dan guru cukup. Kami mengirim anak-anak kami ke sana. Jaraknya, sekitar satu kilometer.” Soal kesehatan, Puskesmas baru dibangun di daerah trans. “Kami berobat di sana. Jaraknya satu kilometer juga.”

Ruben mengatakan, hubungan dengan trans di bidang ekonomi baik. Masyarakat sering membeli beragam produk dari warga trans. Begitu sebaliknya. “Kami saling percaya, bisa saling memberi bon dengan modal kepercayaan.” Namun, tidak dengan perusahaan.

“Rusa saja dia jual sama kami. Dia membawa senapan dan berburu sendiri. Masyarakat dilarang berburu di areal HPH. Dia tidak membeli rusa yang kami jual. Cabe yang masyarakat jual dia tidak beli. Sayuran juga sama. Mereka datangkan saja dari luar (kota-red),” kata Ruben, dengan nada tinggi.

“Kita tidak boleh tanam kakao, atau mau berburu saja harus minta izin, bahkan mereka minta KTP. Dalam perjanjian perusahaan-perusahaan ini hanya mengambil kayu, tetapi mereka ambil hasil hutan termasuk hasil tanah.”
Ilustrasi: Alam dan hutan Papua yang terus terkuras. Foto: Greenpeace

Bahkan, PT Kalimanis mengklaim, yang terkandung dalam tanah milik mereka. “Jika ada perusahaan yang mau masuk, harus minta surat tidak keberatan dari PT Jati Dharma Indah. Hubungan dengan perusahaan tidak baik. Pendeta saja mau membunuh, apalagi masyarakat biasa,” ujar dia. Ruben mengatakan, tenaga kerja tidak pernah mengambil warga lokal. “Tidak ada warga bekerja. Banyak masukkan lamaran tetapi tidak diterima. Mereka datangkan semua karyawan dari luar. Mereka sempat sewa sensor warga, padahal dia tukang sensor. Akhirnya, sensor itu rusak, tertimpa kayu dan tidak diganti lagi.” “Hutan yang menjadi ibu kami telah dirusak. Orang seberang telah mengklaim hutan adat kami. Kami dipaksa beralih cepat dari cara bertahan hidup masa lalu ke cara bertahan hidup masa kini. Kami bergantung pada segala yang datang dari luar. Tidak ada pembangunan. Kami pikir, mungkin Tuhan akan membangun sendiri kerajaan-Nya di sini.”


Sumber:  Mogobay.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar